Tanjidor Orkestra Khas Tanah Betawi

                                     “Akankah tanjidor menuai kejayaan kembali atau meredup?”


JACAPTURE, JAKARTA – Tanjidor merupakan salah satu grup kesenian musik tradisional Betawi yang sangat tersohor. Kesenian musik ini banyak mendapat pengaruh asal musik Eropa, dimainkan secara berkelompok. Musik tanjidor dikembangkan oleh masyarakat Betawi yang didominasi tinggal di daerah Bekasi dan Karawang. Budaya Betawi termasuk tanjidor juga sangat kental dalam kehidupan sosial budaya masyarakat setempat disana, karena wilayahnya yang berdekatan.

“Tanjidor berasal dari kesenian tiup dari satu-kesatuan tentara. Jadi pada masa lalu, musik ini dimainkan oleh para pemusik yang mengiri tentara atau serdadu kolonial dalam baris-berbaris. Mereka membutuhkan suara-suara musik yang memberikan rasa semangat. Tanjidor menjadi ciri khas musik Betawi karena pemusiknya saat itu memainkannya belajar dari militer penjajah, kemudian ketika mereka sudah tidak dimanfaatkan lagi tenaganya oleh pemerintah kolonial, maka mereka pulang ke kampungnya masing-masing dan mereka diberikan hadiah berupa alat-alat musik yang mereka gunakan. Karena mereka sudah terbiasa memainkan alat musik itu dalam kesehariannya, maka timbul rasa ingin berkumpul kembali dengan kawan-kawannya. Maka muncullah perkumpulan musik tiup tanjidor, di kampung-kampung Betawi.” Tutur Yahya Andi Saputra (Budayawan Betawi).

Tanjidor merupakan ansambel musik yang lahir ketika masa penjahahan Hindia Belanda. Sejarah tanjidor sendiri sudah masuk ke tanah Betawi sejak abad ke-18. Sebutan “tanjidor” berasal dari bahasa Portugis “tangedor” yang memiliki arti alat-alat musik berdawai. Di negara Portugal, tanjidor sendiri biasa dimainkan dalam pawai-pawai keagamaan. Terdapat beberapa perbedaan antara tanjidor asal Portugis dengan tanjidor yang sudah dikembangkan oleh masyarakat Betawi. Pada segi kekhasannya, kesenian tangedor di Portugis cukup berbeda dengan kesenian tanjidor yang dikembangkan masyarakat Betawi. Meskipun memiliki sistem tangga nada serupa yaitu diatonik. Masyarakat Betawi mengembangkan kesenian tanjidor dengan mendominasi alat musik tiup.

Orkes tanjidor sendiri biasanya dimainkan oleh 7 – 10 orang. Masing-masing mengenakan seragam khusus yang biasa digunakan untuk pentas. Pakaian seragam yang dikenakan oleh pemain tanjidor, biasanya selalu menunjukkan nilai formal,kesan ceria, dan bergairah. Ada beberapa jenis seragam yang biasanya dipakai pemain tanjidor. Pakaian koko atau saderiah, berupa atasan polos serta bawahan mengenakan batik dan juga mengenakan peci atau kopiah.

Musik tanjidor sendiri merupakan kesenian yang popular. Kesenian tanjidor dikatakan popular karena tidak mengandung unsur magis atau religius dalam pertunjukannya. Namun kesenian tanjidor sendiri memiliki adat atau nilai-nilai luhur yang biasa dipakai masyarakat Betawi dalam melakukan sesuatu hal.

“Memang terkadang orang kampung itu suka melakukan nazar (sebuah janji di dalam hati). Yang nantinya dia akan membayar nazar itu dengan menanggap (memanggil) musik tanjidor. Namun pada umumnya, ini adalah musik untuk bergembira seperti hiburan perkawinan, mengiringi pawai-pawai, atau karnaval.” Ucap Yahya.

Orkes-orkes tanjidor biasanya membawa beberapa lagu rakyat atau daerah, memainkan musik dengan berkeliling. Tanjidor memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan kesenian Betawi lainnya.

Jika berbicara tentang kesenian Betawi, tanjidor takterlepas dari warisan leluhur yang diturunkan pada generasi penerusnya. Seperti alat-alat musik yang dimainkan kesenian tanjidor, kebanyakan merupakan alat musik legendaries yang sudah dipakai sejak zaman leluhur mereka.

Masa kejayaan grup tanjidor kini mengkhawatirkan, mulai tergerus waktu dari zaman ke zaman –  seniman tanjidor kesulitan untuk mencari genarasi muda sebagai penerus kesenian ini. Hal ini karena pengaruh masuknya budaya asing, yang takjarang diminati generasi muda saat ini.

“Selama saya mengamati, musik tanjidor ini berada dalam kondisi stagnan. Tidak mundur, tidak juga maju. Dibilang mati tidak, hidup bermewah-mewah pun tidak. Oleh karena itu dalam pengamatan saya, tanjidor dalam keadaan antara mati dan tidak.” Yahya menjelaskan.

Kesenian tanjidor sendiri sempat dipandang sebelah mata saat itu, dan keberadaannya dilarang. Saweran yang diberikan penonton kepada pemain tanjidor, dianggap merendahkan pribumi. Karena memberikan kesan terhadap seniman tanjidor sebagai peminta-minta. Namun sesungguhnya, saweran yang diberikan merupakan apresiasi dari penonton yang melihat pertunjukkan tersebut.

“Bahkan ketika dia (tanjidor) jarang ditanggap oleh masyarakat, maka dia mengisi kegiatannya sendiri terutama saat perayaan hari-hari khusus. Misalnya pada saat tahun baru, hari kemerdekaan, pada tahun baru Cina.” Yahya mengungkapkan.

Regenerasi dalam kesenian tanjidor sangat dibutuhkan, agar dapat mempertahankan dan membuat kesenian ini terus eksis serta terjaga. Pengenalan budaya Betawi pada kurikulum pendidikan saat ini dianggap salah satu cara yang tepat mengenalkan tanjidor ke generasi muda.

 

Penulis: YMA


Komentar