“Sebuah perjalanan
spiritual seorang mualaf etnis Tionghoa”
JACAPTURE, JAKARTA – Sempitnya lahan di ibu kota membuat warga
pendatang memanfaatkan lahan kosong digunakan sebagai tempat tinggal, takterkecuali
lahan kosong yang berada di bawah kolong jalan tol. Biasanya mulai dari situlah
permasalahan besar dimulai seperti sampah yang menumpuk, berkembangnya para
penghuni liar, hingga premanisme. Namun berbeda dari kolong jalan tol lainnya, tepatnya
Tol Tanjung Priok, Jakarta Utara. Masjid ini memiliki tentang tentang
keberagaman akulturasi budaya.
Telah
berdiri sebuah bangunan yang indah nan menawan. Seorang pengusaha keturunan
etnis Tionghoa yang kini menjadi mualaf bernama Muhammad Jusuf Hamka, merupakan
sosok yang telah mewakafkan bangunan masjid ini. Kata Babah merujuk pada arti
bapak, sedangkan Alun merupakan nama kecil Muhammad Jusuf Hamka. Konsep
oriental nampak sekali dari luar masjid. Mulai dari ukiran dinding, atap, area
wudhu, serta pintu masjid dengan bentuk moon
gate. Masjid Babah Alun memiliki bentuk persegi delapan sebagai lambang
kejayaan Islam. Memasuki area dalam, masjid ini dihiasi 99 kaligrafi asmaul
husna lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa mandarin.
Masjid
Babah Alun, mengusung gaya oriental yang berdiri kokoh di kolong tol dalam kota.
Awalnya banyak orang mengira bahwa bangunan ini adalah klenteng, namun tidak
diduga bangunan unik yang didominasi warna merah dan hijau tersebut ternyata
sebuah masjid berarsitektur Tionghoa. Dengan berdirinya Masjid Babah Alun,
masalah-masalah yang dihadapi di kolong tol tersebut berangsur-angsur hilang
seiring aktifnya masjid ini. Tujuan dari pembangunan Masjid Babah Alun lebih
dari itu yaitu untuk membantu masyarakat sekitar. Dengan segala fasilitas
pendukung seperti kegiatan khitanan masal, pernikahan, tempat pendidikan
Al-Quran dan bahasa, serta PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Balai
latihan kerja juga didirikan bagi warga yang putus sekolah. Tujuan utama
lainnya adalah untuk wisata religi. Karena jika turis nusantara dan turis
mancanegara datang, tentunya akan mengangkat perekonomian warga setempat. Mereka
bisa menjual cinderamata, menjual makanan dan minuman, serta pendidikan bahasa
anak-anak dapat diaplikasikan secara nyata untuk penerjemah tulis mancanegara.
Jusuf
Hamka mengemukakan alasannya memilih lokasi kolong tol untuk membangun masjid
karena rasa prihatinnya terhadap masyarakat sekitar yang memiliki tempat
tinggal tidak menggunakan lantai. Beliau kemudian berkeinginan untuk
memberdayakan tempat kumuh itu menjadi layanan fasilitas bagi masyarakat yang
tinggal di kolong tol. Awalnya Jusuf Hamka mendapat dukungan dari rekannya
untuk membangun RPTRA, namun Jusuf menolak lantaran baginya yang dibutuhkan
masyarakat bukanlah tempat bermain melainkan tempat bersekolah dan beribadah
yang layak.
Penulis: YMA
Komentar
Posting Komentar