Nyampah

 


JACAPTURE, JAKARTA – Kita melihat sampah masyarakat perkotaan yang begitu banyak, kini masih belum bisa diimbangi dengan pengelolaan yang mumpuni. Minimnya pemilahan sampah oleh konsumen serta kurangnya komitmen produsen untuk menangani kemasan pasca konsumsi, membuat ribuan ton sampah berakhir hanya tertumpuk di TPST Bantar Gebang. Selain aka nada lahan-lahan lain dibuka hanya untuk tempat sampah, pola pengelolaan seperti ini juga amat membahayakan kelestarian lingkungan.

TPST Bantargebang memiliki kawasan seluas 110 hektar. Menurut data, volume sampah yang setiap harinya masuk ke Bantar Gebang rata-rata 6.000 – 7.000 ton/hari. Volume sebesar ini setara dengan besar Candi Borobudur yang masuk ke Bantar Gebang setiap dua hari sekali.

Di Indonesia ada Darurat Pengelolaan Sampah, ada suatu kesalahan dalam sistem pengelolaan sampah. Fast fashion 85% menjadi limbah. Sampah-sampah disini didominasi oleh bungkusan dari produk-produk FMCG (Fast – Moving Consumer Goods) atau bahasa lainnya adalah produk-produk yang memiliki perputaran produksi dengan cepat. Produksi ini erat kaitannya dengan konsumsi kehidupan kita sehari-hari seperti perlengkapan mandi dan produk-produk makanan – minuman.

Di Indonesia, produk-produk FMCG ini sangat laris dan mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Tetapi konsekuensinya, pertumbuhan sampahpun semakin naik. Sukirno dan Supriyem, pasangan suami istri yang sudah 5 tahun menggantungkan hidupnya dari memulung sampah di Bantar Gebang. Dari hasil memulung sampah mereka mendapat penghasilan sekitar Rp50.000 – Rp100.000/hari.

Dikabarkan tahun 2025 Bantar Gebang sudah ditutup karena tidak dapat lagi menampung banyak sampah, namun saat ini pun keadaan sampah di Bantar Gebang sudah semakin meledak. Saat ini pihak DKI sedang membangun pengolahan sampah, ketika sudah siap, nantinya sampah tidak akan lagi dibuang ke Bantar Gebang, melainkan dilakukan pengolahan.

Sejauh mana perusahaan-perusahaan FMCG menyumbang pertumbuhan sampah plastik, dan mengapa kondisi ini masih berlangsung hingga sekarang. Sampah plastik ini jika terbuang ke tanah, tidak akan terurai dan akan mengganggu tanaman. Begitupun jika terbuang ke saluran air, karena takmudah terurai juga lama-lama akan tertumpuk dan menjadi penyebab banjir. Jika terbuang ke laut pun sama, tidak mudah terurai dan menjadi mikroplastik yaitu potongan-potongan kecil yang kurang dari 5 mm.

Menurut World Economic Forum, dalam The New Plastic Economy Rethinking The Future Of Plastics, pada tahun 2050 jika kita tidak berubah jumlah mikroplastik di lautan jauh lebih banyak daripada ikan. Padahal di masa depan setelah hutan dihabisi, sumber protein kita akan tergantung ke laut. Selain plastik, ada sampah baru yang sering kita temukan akhir-akhir ini yaitu sampah masker sekali pakai. Walau di Bantar Gebang tidak banyak ditemukan, namun menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sampah masker sekali pakai terkumpul mencapai berat 800 kg pada Maret – November 2020.

UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dibentuk ketika terjadi musibah longsor TPA di Cimahi yang memakan korban. FMCG ibarat keran yang mengaliri kemasan plastic secara terus menerus. Fajri Fadhillah, ICEL.

Perubahan gaya hidup bukan hal mustahil, serta koorperasi ini dapat beradaptasi dengan layanan produk, relugasi pemerintah yang tepat terhadap produk FMCG. Contoh di beberapa negara seperti Amerika dan Belanda, produsen harus bertanggung jawab dengan kemasannya, mereka harus memiliki sistem menarik kemasan botol atau kaleng agar tidak berkeliaran menjadi sampah. Maka di supermarket atau swalayan ada mesin pengumpul botol plastic atau kaleng, dan dapat ditukar dengan kupon atau uang. Inilah yang dinamakan regulasi, karena tanggung jawab tidak hanya pada satu pihak melainkan semuanya.

 

Penulis: YMA

Sumber: Youtube Greenpeace Indonesia


Komentar