Tapak Tilas Roti Buaya Dalam Adat Pernikahan Betawi

Buayanya Betawi bukan buaya darat




 

JACAPTURE, JAKARTA – 70 – 100 tahun merupakan usia rata-rata buaya muara. Buaya, hewan reptil yang dianggap buas ini ternyata memiliki makna berbeda bagi sebagian masyarakat ibu kota. Mendengar kata buaya –  terutama perempuan tentang konotasi negatif yakni buaya darat bagi laki-laki yang tidak setia. Kalau seekor buaya yang muncul di pernikahan adat Betawi, berwujud dengan bentuk roti.  Roti buaya sudah tidak asing di telinga kita, dan sudah menjadi simbol masyarakat Betawi. Namun, tahukah Anda? Mengapa hewan yang dipilih adalah buaya? Bukan singa, atau ikan hiu. Menilik sisi sejarah dan filosofi masyarakat Betawi tempo dulu, sebenarnya kehadiran roti buaya pada acara pernikahan memiliki makna yang mendalam.

Pernikahan adat selalu memiliki tradisi yang takboleh ditinggalkan. Begitu pula bagi masyarakat Betawi. Roti buaya menjadi elemen penting dalam adat pernikahan ini, tidak elok rasanya jika mempelai pria tidak membawa hantaran roti buaya. Ada makna tersendiri terpilihnya hewan ini menjadi ikonik pada pernikahan adat Betawi. Rupanya buaya memiliki sifat setia kepada pasangannya. Buaya jantan tidak akan berpaling kepada betina lain, begitu pun sebaliknya. Bahkan, buaya jantan akan melindungi betina yang akan bertelur. Kemudian buaya jantan akan menjaga telur-telur tersebut hingga tiba waktunya bayi-bayi buaya menetas. Penelitian selama 10 tahun membuktikan 70% buaya betina akan mencari pasangan yang sama saat musim kawin tiba. Apabila si betina yang lebih dahulu mati, si jantan tidak akan kawin lagi atau mencari pasangan baru.  

Pada awalnya, roti buaya disiapkan untuk menyaingi orang-orang Eropa, yang kala itu memberi bunga sebagai simbol cinta kepada pasangan. Masyarakat Betawi kala itu menginginkan sebuah simbol yang baru untuk mengungkapkan perasaan kepada lawan jenis, maka dipilihlah roti dengan bentuk buaya ini karena sifatnya yang setia kepada satu pasangan. Buaya merupakan hewan yang unik, saat musim kawin tiba akan mencari pasangan yang sama. Dari sinilah masyarakat Betawi percaya hal tersebut secara turun temurun.

Roti buaya yang dibuat untuk seserahan adalah sepasang, ukurannya bisa mencapai 1,3 meter. Untuk membedakan, roti buaya betina berukuran lebih kecil daripada roti buaya jantan. Biasanya di atas atau di samping roti buaya betina terdapat roti buaya ukuran kecil yang bermakna kesetiaan hingga ke anak cucu.

Menurut Yahya seorang budayawan Betawi, roti buaya bukan hanya penyimbolan kesetiaan tetapi dalam pemahaman masyarakat Betawi, buaya adalah simbol penjaga dan melangsungkan kehidupan itu sendiri. Dahulu buaya dianggap sebagai penjaga mata air, salah satu kebutuhan vital agar bisa melangsungkan hidup. Karena itulah buaya menjadi simbol kekuatan dalam memelihara kehidupan. Inilah makna roti buaya sebagai salah satu syarat pihak mempelai pria yang harus diserahkan kepada pihak mempelai wanita.

“Zaman dahulu roti buaya itu bukan dibikin sebagaimana seperti sekarang ini. Zaman dahulu buaya dibuat untuk seserahan terbuat dari daun kelapa dan kayu yang dibentuk menjadi buaya. Setelah prosesi ijab kabul selesai, buaya kayu tersebut dipantek di depan rumah sebagai simbol jika anaknya telah dinikahkan. Nah ketika masuknya pengaruh Islam, fungsi buaya kayu berubah menjadi roti buaya yang bisa lebih bermanfaat.” Ucap Yahya.   

Awalnya roti buaya dibuat dengan tekstur keras, cenderung tidak untuk dikonsumsi hanya sebagai simbolis pernikahan adat. Dibuatnya tekstur keras ini memiliki filosofi tersendiri, yakni melambangkan pasangan akan langgeng hingga maut menjemput. Namun seiring perkembangan zaman tekstur roti buaya menjadi empuk seperti tekstur roti pada umumnya, dan roti buaya setelah resepsi selesai akan dibagikan kepada tamu maupun tetangga dengan harapan dapat segera menyusul menikah bagi yang belum menikah.

Hingga saat ini roti buaya masih digunakan oleh sebagian masyarakat Betawi untuk hantaran kepada mempelai wanita.

 

Penulis: YMA

Komentar