Polisi Virtual, Alat Untuk Membungkam atau Menyehatkan Demokrasi?

JACAPTURE, JAKARTA – Saat ini Polri sudah memiliki polisi virtual. Jadi bagi Anda yang suka mengupload pidato-pidato Yahya Waloni yang gemar mencaci maki Kristen itu, atau atau menyebarkan foto-foto porno misalnya, harap bersiap-siap. Tim polisi virtual ini bertugas membersihkan dunia maya dari muatan-muatan yang mengandung ujaran kebencian atas dasar SARA, kebohongan, atau, fitnah, dan hal-hal yang melanggar kesusilaan. Untuk itu polisi virtual mengawasi lalu lintas postingan warga  di Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, serta media sosial lainnya,

Jadi, jika Anda diketahui memposting tulisan atau gambar atau konten lain yang dianggap melanggar rambu-rambu hukum, Anda akan ditegur melalui direct message dari polisi. Polisi akan menyatakan bahwa apa yang Anda tampilkan tidak pantas dan Anda akan diminta menghapusnya dalam satu kali 24 jam. Peneguran akan diberikan dua kali. Bila Anda tidak juga mengindahkannya, Anda akan dipanggil untuk memberi penjelasan kepada polisi. Bila ternyata Anda berkeras untuk mempertahankan postingan Anda, walaupun sudah terbukti bersalah, barulah ada kemungkinan Anda akan menjalani proses hukum pidana. Teguran terhadap isi media sosial Anda bisa diakibatkan oleh hasil pemantauan tim polisi virtual, namun juga bisa karena adanya pengaduan masyarakat. Jadi misalnya ada kelompok masyarakat yang keberatan dengan postingan Anda, mereka bisa melaporkannya kepada polisi. Bila aduan itu dianggap valid atau memenuhi unsur adanya kemungkinan pelanggaran pidana, Anda akan dikirimi pesan langsung dari tim polisi virtual.

Polisi juga sudah menyatakan bahwa virtual police tidak mengawasi konten WhatsApp karena dianggap merupakan area pribadi. Namun dikatakan juga apabila ada warga yang melihat konten WAG yang diduga merupakan pelanggaran hukum, konten tersebut dapat diadukan ke polisi dengan mengirimkan tangkapan layar.

Tim polisi virtual sudah bergerak cepat, dikabarkan selama satu bulan, antara Februari – Maret terdapat 189 konten yang diberi peringatan. Persentase terbesar adalah yang memenuhi unsur ujaran kebencian. Tentu saja tidak semua pihak mendudukung. Banyak masyarakat sipil yang menganggap langkah polri ini adalah ancaman terhadap demokrasi. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)  sudah mengecam polisi virtual. Menurut Kontras, kehadiran polisi virtual akan berimplikasi pada menyusutnya kebebasan di ruang sipil. Saya berbeda pendapat dengan Kontras, buat saya kehadiran polisi virtual memang sudah saatnya hadir di Indonesia. Polisi virtual bukan ancaman bagi demokrasi Indonesia, melainkan memang hal yang dibutuhkan saat ini. Dia mungkin bukan jawaban permanen, tetapi untuk saat ini kehadirannya sangat diperlukan. Tuduhan bahwa polisi virtual adalah alat negara untuk memata-matai percakapan warga di ruang pribadi dan mematikan kebebasan berekspresi, rasanya tidak berdasar.

Pertama, apa yang kita muat di media sosial tidaklah bersifat pribadi, media sosial sebagaimana namanya adalah ruang publik. Ini berbeda dengan alat komunikasi pribadi seperti telepon, SMS, chat WA atau direct message di FB misalnya. Hal-hal yang terakhir ini tidak dipantau oleh polisi.

Jadi, yang diintervensi negara adalah pesan-pesan yang kita sampaikan di ruang public. Dan kalau itu dilakukan negara, itu sama sekali tidak tepat dianggap sebagai pelanggaran HAM.

Kedua, yang ditegur oleh polisi virtual adalah hal-hal yang dianggap sebagai melanggar hukum. Dengan kata lain, jika kita hanya sekedar mengecam kebijakan vaksinasi pemerintah atau mengkritik UU Cipta Kerja misalnya, kita tidak layak ditegur polisi virtual. Atau kalaupun ditegur, kita disediakan prosedur untuk menyatakan keberatan tanpa perlu men-takedown postingan kita. Seperti dikatakan, kita akan ditegur dua kali terlebih dahulu sebelum dipanggil polisi untuk mengklarifikasi. Ini pun ada kemungkinan penjelasan Anda bisa diterima sehingga Anda bebas dari tuntutan. Cara semacam ini jelas jauh lebih baik dari apa yang selama ini terjadi.

Selama ini kalau Anda dianggap menghina seseorang atau sebuah instansi misalnya, pihak tersebut bisa langsung mengadukan Anda ke polisi dan Anda akan bisa langsung menjadi terlapor, terduga, atau bahkan tersangka.

Menurut Ade Armando, polisi virtual mengatasi persoalan terakhir itu. Kehadiran polisi virtual ini melengkapi kebijakan POLRI sebelumnya yang sudah menetapkan bahwa pengaduan masyarakat terkait dengan UU ITE harus diproses dengan cara yang berhati-hati. Menurut Kapolri, jajaran kepolisian sebaiknya tidak begitu saja mentersangkakan mereka yang dituduh melanggar UU ITE. Sebelum diproses hukum lebih jauh lagi, si terduga pelaku pelanggar UU harus ditegur, dihubungi, dan bahkan harus memperoleh kesempatan permintaan maaf.

Dengan skema ini, polisi nampak ingin mencegah agar UU ITE tidak lagi memakan korban yang tidak perlu. Ini kembali menunjukkan bahwa pemerintah serius berusaha melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Beberapa pekan yang lalu, Presiden Jokowi sudah mengimbau masyarakat untuk mengkritik pemerintah. Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa UU ITE perlu direvisi bila dianggap melanggar rasa keadilan.

Namun entah mengapa, DPR tidak menunjukkan antusiasme untuk memenuhi harapan mengubah UU ITE. Setidaknya revisi UU ITE tidak tercatat dalam daftar UU yang akan direvisi tahun ini. Masalahnya, bila UU ini masih bertahan tanpa direvisi, tentu besar kemungkinan aka nada lagi warga yang diadukan ke polisi. Atau harus menjalani proses pengadilan dan bahkan masuk penjara karena UU ini.

UU ITE adalah salah satu UU yang paling bermasalah karena muatan pasal-pasal karetnya yang bisa dimanfaatkan untuk mengancam orang yang berani bicara. Ada kasus Prita Mulyasari, yang sempat dipenjara hanya karena protesnya terhadap pelayanan rumah sakit. Ada Nuril Baiq yang sempat dipenjara karena melaporkan atasnnya yang melakukan pelecehan seksual.Ada Jerinx yang sekarang mendekam di penjara karena mengecam Ikatan Dokter Indonesia. Dan ada kasus demi kasus yang menunjukkan betapa besar peluang UU ITE digunakan untuk mengancam demokrasi. Karena itu langkah Polri adalah jalan keluar yang dibutuhkan.

Kita menyadari adanya paradoks internet. Internet itu seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, internet adalah alat demokrasi karena melaluinya rakyat bisa bicara kepada public secara terbuka dan langsung. Tetapi ruang public yang sangat terbuka itu bisa juga diisi oleh pernyataan penuh kebencian atas RAS, bisa digunakan untuk menyebarkan fitnah, dan juga konten porno.

Karena iu sebuah pemerintah demokratis harus pintar-pintar menjaga keseimbangan di antara kedua wajah internet itu. UU ITE semula diharapkan bisa mengatasi paradoks itu, namun ternyata malah digunakan oleh pihak-pihak yang anti-demokrasi. Karena itulah seperti saya katakan, kebijakan Polri adalah sebuah solusi.

Bayangkan saja kalau kebijakan Polri sudah ada dari dulu, tidak akan ada kasus Prita, Nuril, Jerinx, dan korban-korban UU ITE lainnya. Jerinx misalnya akan dihubungi oleh polisi virtual dulu dan dia akan diminta menurunkan postingannya yang dianggap melecehkan IDI. IDI sendiri juga tidak bisa langsung memperkarakan Jerinx. Polisi akan meminta Jerinx meminta maaf kepada IDI, dan baru kalau Jerinx menolak, perkara hukum dilanjutkan.

Menurut Ade Armando, langkah pendirian polisi virtual sama sekali tidak menakutkan. Kita para pengguna media sosial harus sadar saja bahwa apa yang kita tulis dan tayangkan di media sosial sekarang telah diawasi.

Mudah-mudahan ini bisa membuat kita tidak ringan tangan menulis caci maki, informasi yang belum jelas kebenarannya, atau yang dianggap sebagai memfitnah di media sosial kita. Hidup memang tidak lagi sebebas sebelumnya, tetapi bukankah kebebasan memang bukan tujuan akhir yang tidak bisa dikompromikan?

Mari terus gunakan akal sehat. Karena hanya dengan akal sehat, bangsa ini akan selamat.

 

 

Penulis: YMA

Sumber: Youtube CokrtoTV

Narasumber: Ade Armando

 


Komentar