JACAPTURE, JAKARTA – Di Jakarta, siapa yang tidak tahu kawasan Blok M
adalah pusat hiburan, belanja, dan pusat pergaulan anak-anak muda. Gegap
gempita keriaan Blok M era 80-an berhasil menggaet muda-mudi untuk membuat
sebuah istilah baru yaitu nongkrong
atau ngeceng. Tradisi itu masih
berjalan hingga hari ini. Hingga warga Jepang pun ikut andil dalam membentuk
suatu wilayah sendiri di Blok M, Little
Tokyo.
“Dulu
memang populasi Jakarta, kalau gak salah meledak. Dari tahun 1940 tuh Cuma
600.000 orang tinggal di Jakarta. Tahun 1950-an 1.500.000 jiwa. Jadi waktu itu
pemerintah Belanda dan Indonesia akhirnya mencoba mendesain Kebayoran ini
sebagai kota baru. Jadi kota satelit kaya Bekasi. Yang kalau gak salah, didesain
untuk menampung kurang lebih 100.000 orang. Dulu gak cuma sebagai pemukiman
sih, jadi memang kota baru. Mereka mencoba untuk mendesain Kebayoran ini
sebagai kota mandiri pertama di daerah metropolitan Jakarta. Yang kalau kita
lihat, Blok M ini sebenarnya di tengah-tengah nih. Kenapa namanya Blok M,
sebenarnya dulu Kebayoran didesain dari beberapa distrik, yang namanya
blok-blok alfabetik. Sekarang tinggal sisa Blok A, Blok M, sama Blok S. Tapi
dulu juga ada Blok P, Blok N, Blok Q.
Nama-nama
Blok yang mulai tenggelam karena lebih popular dengan sebutan nama lain.
Seperti Blok R dan S lebih terkenal dengan sebutan daerah Senopati, Blok A – P
terkenal dengan nama Petogogan. Yang tersisa hanya nama Blok M, karena adalah
menjadi bagian sentral.
Blok
M dari awal direncanakan menjadi pusat bisnis, pusat hiburan, dan pusat
pemerintahan. Seperti terdapat Sekretariat ASEAN, Mabes Polri, dulu juga
terdapat Perum Peruri. Blok M sejak awal telah menjadi nadinya Kebayoran.”
Adriansyah Yasin, Perencana Kota & Aktivis Transportasi Publik.
Blok
M itu happy, mengapa saya katakan happy? Karena survey mengatakan buat
nongkrong di Jakarta ini Selatan paling top. Utamanya di Blok M. Kita punya
“Adidas” alias anak disko dari Selatan. (Jadi, warga Blok M).
Zaman
dulu, Blok M itu tidak ada ribut-ribut. Bersatu. (Frans, warga Blok M).
Mari
kembali ke 30 tahun yang lalu. Keriaan menyala setiap hari di Blok M. Anak-anak
muda datang ke tempat ini untuk berbelanja, bergaya, berpesta, atau mungkin
sekadar duduk-duduk di tengah keramaian. Tumbuh besar sebagai “anak kebayoran”,
Denny Malik menceritakan pengalamannya secara begitu hidup, begitu berwarna.
“Tawuran
zaman dulu itu dijadikan tren bergengsi di kalangan anak-anak sekolah. Tetapi
tidak semengerikan tawuran sekarang. Kalau sekarang kan, dengan benda-benda
tajam, mematikan. Dulu kita lempar batu, kayu, pentungan gitu. Tawuran itu
kayak berantem anak-anak sekolah biasa. Belum dianggap sesuatu yang kriminal.
Karena tawuran itu berharap setelah itu libur, bisa hampir seminggu dulu liburnya
karena tawuran.” Ujar Deny Malik.
Zaman
dulu tempat tren di Blok M ini hanya ada Aldiron, Melawai Plaza, dan Ratu
Plaza. Dulu ada istilah “ngeceng” saling mejeng-mejeng di atas mobil.
Perubahan
zaman tidak membuat Blok M ditinggalkan, ia tetap gegap gempita meski berganti
warna. Bahkan, kini menjadi pusat destinasi hiburan menawarkan lebih banyak
pilihan. Mal besar berdampingan dengan kedai kopi kesukaan muda-mudi, resto dan
bar bersebelahan dengan warung-warung. Sesekali terdengar kereta melintas, dan
orang terus berdatangan.
Ryuji
Yamagen, seorang musisi & pemilik Bar Gen’s, mengaku jika kawasan Blok M
ini hampir mirip dengan suasana malam di Jepang.
Takeya
Daisei, CEO Daisei Group, mengatakan pada tahun 1995-an itu Blok M adalah
kawasan ramai terdapat restoran, bar, karaoke, dan sauna, suasana Jepang semua
“Little Tokyo”. Ia juga mengatakan orang-orang Jepang tinggal disini
(mengontrak). Takeya Daisei adalah salah satu sosok orang keturunan Jepang yang
sejak lahir tinggal di Blok M, karena orang tuanya sudah tinggal disini sejak
1970.
Nama
Little Tokyo sendiri mulai terkenal pada tahun 2002, karena kebiasaan muda-mudi
disana jika ingin mengunjungi Blok M dengan taksi mereka akan mengatakan kepada
sopir “Little Tokyo”.
Penulis: YMA
Sumber:
Youtube Asumsi
Komentar
Posting Komentar